Menteri Keuangan AMA Muhith mengatakan bahwa pelaksanaan ADP (Annual Development Programme) memang sudah lama jadi masalah. Salah satu kendala utamanya adalah kurangnya desentralisasi administrasi dan pelimpahan pembangunan ke daerah. “Masalahnya bukan cuma soal pengeluaran anggaran pembangunan, tapi juga soal pola pikir birokrasi,” ujarnya.

Menurutnya, masalah ini sulit diatasi karena berkaitan dengan struktur pemerintahan lokal dan berbagai lembaga pemerintah lainnya. Muhith menyampaikan ini dalam diskusi pra-anggaran bersama para editor media cetak dan elektronik di Sekretariat.

Banyak Kendala dalam Pelaksanaan Proyek

Muhith mengakui ada banyak kelemahan dalam pelaksanaan ADP, termasuk kurangnya koordinasi dan masalah dalam proses pengadaan barang dan jasa. Meski begitu, ia mengatakan pemerintah sudah mencoba mengatasi beberapa persoalan ini, bahkan di beberapa kasus sudah ada kemajuan. Ukuran ADP dari sisi anggaran pun naik cukup signifikan dalam 2–3 tahun terakhir.

Dulu, pelaksanaan proyek makan waktu lama, tapi sekarang prosesnya lebih cepat. Salah satu hambatan lainnya adalah sistem pengadaan publik yang rumit. Untuk mengatasinya, pemerintah akan menyusun rencana pengadaan pusat sejak awal tahun anggaran.

“Kami sudah minta setiap kementerian dan lembaga buat rencana pembelian di bulan pertama tahun fiskal. Ini akan mempercepat proses tender dan eksekusi proyek,” jelasnya.

Masalah Sikap Birokrasi dan PPP

Muhith juga menyoroti kurangnya komitmen dari kalangan birokrasi dalam melaksanakan proyek-proyek ADP. “Kami sudah mulai menekan mereka dengan tenggat waktu tertentu, dan sekarang mulai terlihat perubahan,” ujarnya.

Terkait kemitraan pemerintah-swasta (PPP), ia menyebut sudah ada beberapa proyek berjalan. Contohnya, beberapa pembangkit listrik Independent Power Producer (IPP) dan institusi kesehatan seperti BIRDEM. Ke depan, pemerintah ingin meningkatkan alokasi anggaran untuk proyek PPP.

Tapi mencari orang yang tepat untuk memimpin unit PPP juga tidak mudah. “Kita butuh orang yang punya keahlian dan pengalaman, dan itu cukup langka dalam konteks Bangladesh,” katanya.

Bantuan Luar Negeri Menganggur, Reformasi Pasar Modal Sulit

Muhith menyatakan keprihatinannya soal bantuan luar negeri yang belum terpakai. Ia menyebut jumlahnya bisa mencapai USD 11 miliar pada akhir tahun fiskal ini, padahal biasanya hanya sekitar USD 6–7 miliar.

Soal reformasi Securities and Exchange Commission (SEC) setelah skandal saham terakhir, ia mengatakan sudah bekerja selama sebulan penuh tapi progresnya lambat. “Mencari orang yang benar-benar paham dan punya kapasitas untuk memimpin SEC itu sangat sulit,” tegasnya.

Ia juga mengkritik standar akuntansi dan laporan keuangan perusahaan yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. “Banyak laporan tahunan perusahaan tidak jujur,” tambahnya.

Ketimpangan Sosial dan Investasi Asing

Muhith menyampaikan bahwa meskipun angka kemiskinan menurun, kesenjangan antara kaya dan miskin justru makin melebar. “Ini masalah yang rumit, dan kami belum bisa mengambil langkah besar untuk mengatasinya saat ini,” katanya.

Menurutnya, selain bantuan luar negeri, investasi asing langsung (FDI) juga penting untuk menggerakkan ekonomi. Saat ini, bantuan luar negeri hanya menyumbang sekitar 1,4–1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang tergolong sangat rendah.

Ia menambahkan bahwa situasi pasokan listrik bukanlah penghalang utama bagi investor. “Investor tahu kita serius memperbaiki situasi listrik,” jelasnya. Pemerintah juga memberi prioritas pada pengembangan sektor energi.

Energi, Transportasi, dan Digitalisasi Tanah

Muhith mengungkapkan bahwa sekitar 2.000 megawatt listrik tambahan akan masuk jaringan nasional akhir tahun ini. Dari jumlah itu, sekitar 1.200–1.400 MW berasal dari pembangkit sewa jangka pendek.

Muhith menegaskan bahwa Bangladesh butuh pembangkit besar, gas alam, serta harus mulai mengimpor LNG (gas alam cair). Ia juga menyebut perlunya terminal LNG dan eksplorasi batu bara, walau itu akan butuh waktu.

Ia menambahkan bahwa pemerintah juga akan mengalokasikan dana untuk digitalisasi tanah dan perbaikan transportasi umum.

Pandangan Gubernur Bank Sentral

Gubernur Bank Sentral Bangladesh, Dr. Atiur Rahman, menyoroti kekuatan ekonomi Bangladesh berdasarkan rating terbaru dari Moody’s. Ia juga menyebut bahwa Standard & Poor’s kemungkinan akan memberikan rating serupa.

Meskipun neraca pembayaran sedang tertekan, ia menyatakan ini belum masuk kategori krisis. Inflasi memang naik, tapi masih lebih rendah dibanding negara tetangga di Asia Selatan. Saat ini, tingkat kemiskinan berada di angka 32%, turun dari 40% pada tahun 2005.

Secara umum, menurut Atiur, kondisi makroekonomi Bangladesh cukup stabil.

Baca juga:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *