Revisi Proyeksi S&P: Kemerosotan Properti Tiongkok Makin Parah
Sektor real estat Tiongkok, yang pernah menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi, kini berada dalam krisis yang semakin parah. Kekhawatiran ini diperkuat oleh laporan terbaru dari lembaga pemeringkat global terkemuka, S&P Global Ratings. S&P baru-baru ini merevisi proyeksi mereka, menyatakan bahwa kemerosotan properti Tiongkok pada tahun ini terlihat jauh lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya. Revisi drastis ini menunjukkan bahwa langkah-langkah stimulus yang telah diluncurkan oleh Beijing sejauh ini gagal membendung penurunan harga rumah dan merangsang kembali permintaan pembeli.
S&P Global Ratings kini memproyeksikan penjualan perumahan akan mengalami penurunan yang lebih signifikan, jauh melampaui perkiraan awal mereka. Angka-angka ini mengejutkan pasar karena menempatkan total penjualan properti di Tiongkok pada level yang hanya sekitar separuh dari puncaknya pada tahun 2021. Prospek yang semakin suram ini menggarisbawahi tantangan struktural yang dihadapi oleh ekonomi terbesar kedua di dunia ini, di mana sektor properti menyumbang seperempat dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Tidak hanya S&P, Fitch Ratings juga memangkas perkiraan penjualan tahunannya, mengamini pandangan yang lebih pesimistis terhadap pasar.
Penurunan Harga Rumah dan Kekayaan Rumah Tangga
Penyebab utama memburuknya prospek ini adalah percepatan penurunan harga rumah, baik untuk properti baru maupun bekas. Data resmi menunjukkan bahwa harga rumah baru mencatat penurunan terbesar dalam hampir satu dekade. Bagi rumah tangga Tiongkok, di mana real estat menyumbang sekitar 78% dari kekayaan mereka—dua kali lipat dari persentase di Amerika Serikat—penurunan nilai properti ini menimbulkan efek negatif yang besar.
Penurunan harga rumah ini menciptakan lingkaran umpan balik negatif. Ketika harga terus jatuh, calon pembeli menahan diri untuk melakukan pembelian karena berharap harga akan turun lebih jauh, yang pada gilirannya memperburuk tekanan pada penjualan dan likuiditas pengembang. Investor dan rumah tangga biasa yang menyimpan tabungan mereka di properti kini menghadapi kerugian kekayaan yang substansial, yang selanjutnya menekan konsumsi domestik. Penurunan kekayaan ini diperkirakan akan membebani pengeluaran konsumen sepanjang tahun 2025, menurut analisis dari Bank Dunia.
Banyak keluarga Tiongkok menabung bertahun-tahun dan meminjam dari kerabat untuk membeli rumah, yang dipandang sebagai prasyarat pernikahan dan aset investasi utama. Merosotnya harga properti dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi telah melemahkan pilar sosial dan ekonomi ini. Kondisi ini membuat upaya pemerintah untuk memulihkan pasar menjadi semakin sulit, karena intervensi kebijakan harus berjuang melawan sentimen pasar yang sangat pesimis.
Beban Inventori dan Keterlambatan Stabilisasi Pasar
Faktor lain yang memperpanjang kemerosotan properti Tiongkok adalah tingginya persediaan perumahan yang tidak terjual (unsold inventories). Luas total persediaan unit yang belum laku telah melonjak secara signifikan dibandingkan beberapa tahun lalu, mencerminkan buruknya tingkat serapan proyek (sell-through). Inventaris yang menumpuk ini memberikan tekanan luar biasa pada pengembang, yang likuiditas dan margin keuntungannya terus menyusut.
S&P memperkirakan bahwa penjualan properti nasional dapat terus menurun, bahkan hingga tahun 2025. Prospek stabilisasi pasar diperkirakan baru akan terlihat pada paruh kedua tahun 2025, dan itu pun tergantung pada dukungan berkelanjutan dari pemerintah untuk kondisi pendanaan pengembang dan upaya nyata untuk mengurangi persediaan. Tanpa dukungan fiskal dan moneter yang lebih agresif—termasuk pembelian inventori oleh pemerintah daerah—analis Goldman Sachs bahkan memperingatkan bahwa penurunan pasar properti dapat berlangsung hingga tiga tahun lagi.
Selain masalah persediaan, penurunan tajam dalam proyek konstruksi baru juga menjadi indikator kritis dari kondisi pasar. Jumlah proyek konstruksi baru yang anjlok menunjukkan bahwa pengembang sangat pesimis tentang prospek penjualan di masa depan. Meskipun ada tanda-tanda pemulihan di pasar sekunder di kota-kota tingkat atas, sebagian besar pasar Tiongkok masih lesu. Hal ini menciptakan pasar dua tingkat: bergairah di puncak, tetapi terhambat di daerah lain.
Implikasi Global dari Krisis Properti Tiongkok
Kemerosotan properti Tiongkok ini bukan hanya masalah domestik. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia dan konsumen utama komoditas, krisis Tiongkok memiliki efek riak global. Perlambatan di Tiongkok mengurangi permintaan global untuk baja, semen, dan bahan mentah lainnya, yang berdampak pada negara-negara pengekspor komoditas. Selain itu, masalah likuiditas pengembang Tiongkok, seperti Evergrande yang diperintahkan likuidasi, telah mengirimkan gelombang kejutan ke pasar obligasi global.
Meskipun Tiongkok telah meningkatkan stimulus ekonomi di beberapa sektor lain untuk mengimbangi pelemahan di dalam negeri, krisis properti yang berlarut-larut terus melemahkan permintaan domestik dan menghambat pemulihan yang lebih luas. Fokus pemerintah kini terlihat bergeser untuk mengalihkan modal ke sektor teknologi, energi hijau, dan modernisasi industri sebagai mesin pertumbuhan baru. Namun, sampai pasar properti mencapai titik stabil, ketidakpastian ekonomi Tiongkok akan terus menjadi sumber kekhawatiran utama bagi pertumbuhan global.
Industri dan investor global akan terus memantau dengan cermat setiap langkah Beijing untuk mengatasi krisis ini. Apakah langkah-langkah kebijakan yang lebih terkoordinasi dan komprehensif akan cukup untuk membalikkan sentimen dan mengakhiri lingkaran umpan balik negatif ini, ataukah Tiongkok harus bersiap menghadapi pertumbuhan yang lebih lambat dan terkendali untuk tahun-tahun mendatang?
Baca juga:
- Saham Hang Seng Bank Melesat 30% Setelah Tawaran Privatisasi HSBC Senilai $37 Miliar
- Ray Dalio Alokasi Emas 15%: Situasi Ekonomi Mirip Awal 1970-an
- Krisis Politik Prancis: Skenario Selanjutnya Setelah Pemerintahan Kolaps
Informasi ini dipersembahkan oleh indocair
