Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan: Ancaman bagi Keajaiban Ekonomi Asia

Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan

Korea Selatan telah lama dikenal sebagai simbol “Keajaiban Sungai Han,” mencerminkan transformasi luar biasa dari negara yang dilanda perang menjadi kekuatan ekonomi global dan pusat budaya pop dunia. Namun, di balik gemerlap K-Pop dan inovasi teknologi, negara ini menghadapi ancaman internal yang jauh lebih serius daripada ketegangan geopolitik: Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan. Dengan tingkat fertilitas total yang terus mencetak rekor terendah di dunia—bahkan turun hingga 0,72 kelahiran per wanita pada tahun 2023—masalah demografi ini berpotensi membalikkan puluhan tahun pertumbuhan dan kemakmuran yang telah dicapai. Meskipun terjadi peningkatan kelahiran yang langka pada awal tahun 2025, tren jangka panjang tetap mengkhawatirkan dan mendesak.

Tingkat kelahiran 0,72 jauh di bawah angka “tingkat penggantian” populasi sebesar 2,1, yang diperlukan untuk menjaga populasi tetap stabil. Dampak dari kekurangan kelahiran ini akan sangat mendalam, mulai dari kekurangan tenaga kerja di masa depan, beban yang tidak berkelanjutan pada sistem pensiun dan layanan kesehatan, hingga penyusutan wajib militer. Para ekonom dan pengambil kebijakan di Seoul kini bekerja keras untuk merancang solusi yang efektif, menyadari bahwa taruhannya adalah masa depan Korea Selatan sebagai negara maju.

 

Mengapa Angka Kelahiran Korea Selatan Begitu Rendah?

 

Ada banyak faktor kompleks yang menyebabkan kaum muda Korea Selatan menunda atau memilih untuk tidak memiliki anak, meskipun pemerintah telah menghabiskan miliaran dolar untuk insentif pro-keluarga.

  • Biaya Hidup dan Membesarkan Anak yang Melangit: Salah satu pendorong utama Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan adalah tekanan finansial yang luar biasa. Biaya pendidikan di Korea Selatan sangat kompetitif dan mahal. Orang tua merasa tertekan untuk mengirim anak-anak mereka ke berbagai les tambahan (cram school atau hagwon) agar dapat bersaing di masyarakat yang sangat meritokratis. Selain itu, harga properti, terutama di Seoul dan sekitarnya, berada di luar jangkauan pasangan muda, membuat impian memiliki rumah dan keluarga besar sulit tercapai.
  • Budaya Kerja yang Keras dan Ketidaksetaraan Gender: Korea Selatan dikenal dengan jam kerja yang sangat panjang. Budaya kerja yang demanding ini meninggalkan sedikit waktu dan energi bagi para orang tua, terutama ibu yang seringkali diharapkan untuk menyeimbangkan tuntutan karier yang ketat dengan tanggung jawab domestik dan pengasuhan anak yang signifikan. Kurangnya infrastruktur dukungan pengasuhan anak yang memadai dan kesenjangan upah gender yang masih tinggi di antara negara maju (OECD) memperburuk dilema ini bagi banyak wanita karier.
  • Perubahan Nilai dan Tren Sosial: Generasi muda Korea semakin memilih untuk mengejar pendidikan dan karier yang lebih tinggi terlebih dahulu. Munculnya istilah seperti “generasi N-Po” (menyerah pada banyak hal, termasuk pernikahan dan anak) mencerminkan perubahan prioritas, di mana banyak yang memilih untuk melepaskan hubungan romantis dan pernikahan sepenuhnya untuk menghindari tekanan ekonomi dan sosial.

 

Dampak Ekonomi dari Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan

 

Implikasi jangka panjang dari Krisis Angka Kelahiran Korea Selatan terhadap perekonomian sangat mengkhawatirkan. Laju pertumbuhan ekonomi potensial negara ini diperkirakan akan melambat tajam, dan beberapa laporan bahkan memprediksi pertumbuhan negatif dalam waktu empat puluh tahun jika tren ini terus berlanjut.

  • Kekurangan Tenaga Kerja: Populasi usia kerja akan menyusut dengan cepat. Hal ini akan memukul industri-industri kunci Korea Selatan, termasuk sektor teknologi dan manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian. Kurangnya pasokan pekerja akan meningkatkan biaya tenaga kerja dan mengurangi produktivitas secara keseluruhan.
  • Beban Fiskal pada Populasi Menua: Ketika jumlah pensiunan meningkat dan jumlah pekerja muda yang membayar pajak berkurang, sistem pensiun dan layanan kesehatan negara akan berada di bawah tekanan ekstrem. Populasi lansia akan menjadi mayoritas, dan sumber daya publik akan terbebani untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang berpotensi menyebabkan peningkatan utang negara atau pemotongan manfaat sosial.
  • Penyusutan Permintaan Domestik: Populasi yang menua dan menyusut juga berarti pasar konsumen domestik akan ikut menyusut, yang pada akhirnya akan menghambat investasi dan pertumbuhan bisnis di dalam negeri.

 

Strategi dan Tantangan Pemerintah

 

Pemerintah Korea Selatan telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk melawan krisis ini. Pada pertengahan tahun 2024, Presiden Yoon Suk Yeol mendeklarasikan situasi ini sebagai “darurat demografi nasional” dan mengumumkan pembentukan Kementerian Strategi Kependudukan yang baru. Kementerian ini bertujuan untuk mengkoordinasikan semua kebijakan terkait tingkat kelahiran rendah, penuaan populasi, dan imigrasi, serta mengalokasikan anggaran secara lebih efektif.

Kebijakan yang telah atau sedang diusulkan meliputi:

  1. Subsidi dan Tunjangan Keuangan: Memberikan pembayaran tunai yang besar untuk setiap bayi yang lahir dan subsidi bulanan untuk pengasuhan anak.
  2. Dukungan Orang Tua Bekerja: Meningkatkan cuti ayah (cuti melahirkan bagi suami) dan memperluas fasilitas pengasuhan anak publik.
  3. Insentif Perumahan: Menawarkan pinjaman perumahan bersubsidi atau prioritas dalam perolehan perumahan publik bagi pasangan yang memiliki anak.

Meskipun terdapat upaya ini, tantangannya adalah bahwa krisis ini berakar pada perubahan struktural dan budaya yang mendalam. Hanya memberikan uang tunai tidak cukup. Pemerintah harus mengatasi akar masalah seperti persaingan pendidikan yang sangat tinggi, jam kerja yang tidak manusiawi, dan ketidaksetaraan gender untuk benar-benar mengubah tren demografi yang mengancam keajaiban ekonomi Korea Selatan.

Baca juga:

Informasi ini dipersembahkan oleh Empire88

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *