JAKARTA – Perekonomian Tiongkok, raksasa Asia yang tengah bergulat dengan tantangan deflasi pasca-pandemi, akhirnya menunjukkan secercah harapan. Data terbaru dari Biro Statistik Nasional (NBS) Tiongkok melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) negara itu berhasil kembali mencatat pertumbuhan tahunan pada bulan Oktober, mengakhiri periode stagnasi harga konsumen. Namun, kabar baik ini dibayangi oleh tekanan yang terus-menerus terjadi di sektor industri, di mana Indeks Harga Produsen (PPI) Tiongkok mencatat kontraksi (deflasi) selama tiga tahun berturut-turut.
Kembalinya Harga Tiongkok Kembali Tumbuh dengan kenaikan CPI sebesar 0,1% year-on-year (YoY), meskipun kecil, memberikan sinyal positif mengenai permintaan domestik Tiongkok. Kenaikan CPI ini menunjukkan bahwa upaya Beijing untuk merangsang konsumsi mulai membuahkan hasil. Namun, divergensi antara CPI yang naik dan PPI yang terus turun menyoroti ketidakseimbangan struktural yang mendalam: sementara harga yang dibayar konsumen stabil, harga yang diterima produsen dan pabrik terus menyusut.
Deflasi Berkelanjutan di Sektor Industri (PPI)
Indeks Harga Produsen (PPI), yang mengukur harga barang yang dijual oleh produsen Tiongkok ke perusahaan domestik lainnya, menjadi indikator utama masalah struktural di sektor industri. Kontraksi PPI selama tiga tahun berturut-turut mencerminkan kelebihan kapasitas (overcapacity) dan permintaan global yang lesu.
1. Kelebihan Kapasitas dan Perang Harga
Sektor industri Tiongkok, didorong oleh pinjaman murah dan dorongan ekspor, telah menghasilkan volume barang yang melampaui permintaan, baik di dalam negeri maupun global. Kelebihan kapasitas ini memaksa produsen untuk terus memangkas harga jual (selling prices) mereka untuk membersihkan inventaris. Hal ini menyebabkan margin keuntungan yang tertekan bagi pabrik-pabrik, menciptakan siklus deflasi yang sulit dipecahkan.
Deflasi PPI ini bukan hanya masalah domestik; ia mengekspor tekanan disinflasi ke seluruh dunia. Ketika harga ekspor Tiongkok turun, hal ini memberikan tekanan ke bawah pada inflasi di negara-negara importir global.
2. Harga Komoditas Global yang Menurun
Penurunan PPI juga terkait erat dengan pelemahan harga komoditas global, terutama minyak, batu bara, dan logam. Karena Tiongkok adalah importir bahan baku terbesar di dunia, penurunan harga komoditas ini mengurangi biaya input bagi pabrik-pabrik Tiongkok, yang kemudian tercermin dalam harga jual yang lebih rendah. Meskipun ini adalah berita baik untuk biaya produksi, berlanjutnya tren penurunan PPI adalah sinyal bahwa momentum ekonomi industri masih lemah.
Sinyal Pemulihan di Pihak Konsumen (CPI)
Kenaikan CPI menjadi 0,1% pada Oktober, setelah sempat berada di level netral atau deflasi tipis, disambut baik sebagai bukti bahwa stimulus pemerintah mulai meresap ke kantong konsumen.
1. Pendorong dari Sektor Non-Pangan
Kenaikan harga konsumen di bulan Oktober sebagian besar didorong oleh sektor non-pangan dan jasa. Setelah pembatasan COVID-19 dicabut, konsumen Tiongkok lebih banyak menghabiskan uang untuk perjalanan, hiburan, dan makan di luar.
- Sektor Jasa: Harga jasa terkait perjalanan dan liburan mengalami kenaikan yang substansial. Ini menunjukkan bahwa konsumen, yang didukung oleh tingkat tabungan yang tinggi selama pandemi, bersedia membelanjakan uangnya untuk pengalaman.
- Harga Pangan: Meskipun harga daging babi (stapel penting) tetap volatil, faktor-faktor musiman dan pulihnya permintaan pasca-liburan berkontribusi pada kenaikan tipis harga secara keseluruhan.
Kembalinya Harga Tiongkok Kembali Tumbuh dalam konteks CPI memberi kepercayaan diri kepada para pembuat kebijakan bahwa mood konsumen telah membaik.
Implikasi Kebijakan Moneter
Divergensi antara CPI dan PPI menciptakan dilema kebijakan yang kompleks bagi Bank Rakyat Tiongkok (People’s Bank of China – PBoC).
Dilema PBoC
PBoC harus menyeimbangkan dua ancaman yang saling bertentangan:
- Tekanan Deflasi Industri: Kontraksi PPI yang panjang menunjukkan perlunya pelonggaran moneter lebih lanjut (seperti pemotongan suku bunga) untuk menstimulasi pinjaman dan investasi korporat.
- Sinyal Inflasi CPI: Meskipun lemah, kembalinya pertumbuhan CPI mungkin membuat PBoC berhati-hati dalam melakukan pelonggaran moneter besar-besaran, karena mereka tidak ingin memicu inflasi harga konsumen yang cepat dan tak terduga.
Para analis memperkirakan PBoC akan mempertahankan kebijakan yang akomodatif tetapi ditargetkan (targeted easing), fokus pada penyuntikan likuiditas ke sektor-sektor spesifik yang membutuhkan dukungan, alih-alih pelonggaran suku bunga yang agresif yang dapat meningkatkan risiko utang.
Dampak Global
Struktur harga Tiongkok memiliki dampak besar pada ekonomi global, terutama bagi negara-negara yang mengandalkan Tiongkok sebagai mitra dagang.
- Bagi Eksportir Komoditas: Berlanjutnya deflasi PPI Tiongkok adalah berita buruk bagi negara-negara yang mengekspor bahan baku (seperti Indonesia atau Brasil). Permintaan Tiongkok yang lemah berarti harga komoditas global tertekan, yang dapat memengaruhi pendapatan ekspor negara-negara tersebut.
- Bagi Konsumen Global: Di sisi lain, harga barang manufaktur Tiongkok yang lebih rendah (karena deflasi PPI) membantu menekan inflasi di negara-negara Barat, meskipun hal ini menimbulkan kekhawatiran geopolitik tentang dumping (penjualan di bawah harga pasar).
Secara keseluruhan, kembalinya Harga Tiongkok Kembali Tumbuh di tingkat konsumen adalah sebuah kemajuan, tetapi perjuangan untuk mengatasi overcapacity dan deflasi industri yang mendalam masih panjang dan memerlukan tindakan kebijakan yang berani dan terarah.
Baca juga:
- Valuasi AI Investor Global Mengkhawatirkan di Tengah Reli
- Investor Global Enggan ke AS Secara Penuh Meski Wall Street Bullish
- Saham Pony.ai Turun 14% : Debut Pahit Robotaxi Tiongkok di Hong Kong
Informasi ini dipersembahkan oleh naga empire
